Pencarian

Custom Search

04 January 2015




Parkour Bandung-Indoor Class

Parkour: Bukan Sekedar Loncat-Loncat

Banyak orang menilai Parkour sebagai olahraga ekstrem yang keren, seperti dalam film Yamakasi dan District B13, misalnya. Padahal, “Parkour adalah disiplin jangka panjang," seperti yang dikatakan David Belle.

Pada 1986, David Belle, seorang remaja berusia 16 tahun, memutuskan untuk berhenti sekolah dan mendatangi daerah suburban Paris bernama Lisses demi kecintaannya akan kebebasan dan aksi, serta keinginan mengembangkan kekuatan dan ketangkasan yang dimilikinya.

Ayahnya, Raymond Belle, adalah seorang pemadam kebakaran militer, begitu juga kakek yang membesarkannya. Di kala orangtua lain melarang anaknya melakukan permainan berbahaya, Raymond kerap mengajak David kecil dan sepupu-sepupunya bermain di hutan, berolahraga dengan meloncati dan memanjati rintangan-rintangan yang mereka temui, melakukan skenario seolah-olah mereka sedang melarikan diri dari situasi yang sulit.
Terinspirasi dari kehidupan heroik keluarganya, di Lisses David bertemu dengan pemuda-pemuda yang berpandangan sama. Bersama mereka dan sahabat masa kecilnya, Sebastién Foucan, Belle membentuk kelompok Yamakasi. Lahirlah apa yang mereka sebut dan kerjakan sebagai art du deplacement, atau seni berpindah tempat dari titik A ke titik B, dengan tepat, cepat, dan seefisien mungkin.
Seiring perkembangan Yamakasi, Belle kemudian berpisah dengan Foucan. Foucan mengembangkan gerakan-gerakan yang lebih akrobatik dan menarik secara estetika, bertentangan dengan faham Belle mengenai kecepatan, ketepatan, dan efisiensi gerak. Apa yang dilakukan Belle kemudian dikenal dengan nama Parkour, sementara Foucan mengembangkan Freerunning. Film Yamakasi yang terinspirasi dari pergerakan kelompok tersebut kemudian dibuat tanpa kehadiran mereka berdua pada 2001.
***
Pada 2006, Stephane Vigroux, Dan Edwardes, Forrest Keighley, dan orang-orang lain yang merasa tidak sejalan lagi memisahkan diri dari Urban Free Flow, forum yang juga merupakan brand Parkour pertama di dunia. Mereka menganggap komunitas besar itu telah menjadi terlalu komersil. Parkour Generations lalu berdiri di UK sebagai salah satu wadah terpenting Parkour di dunia. Mereka berafiliasi dengan Parkour UK yang terbentuk sebagai induk organisasi di bawah pemerintah dan bukan lagi hanya sebagai satu komunitas.
Sesuai dengan filosofi original Parkour ajaran David Belle, Parkour Generations menyebarkan Parkour sebagai satu disiplin. Dikatakan suatu disiplin karena bagaimanapun orang menilainya, entah sebagai suatu seni, olahraga, ataupun beladiri, Parkour membantu praktisinya mengenal diri sendiri, beradaptasi dengan lingkungan, dan menghadapi bahaya. Di UK, Parkour diajarkan di sekolah-sekolah sebagai metode pengembangan diri secara fisik maupun mental.
Selain mengkonsentrasikan diri dalam mengajar, Parkour Generations membuat strukturisasi latihan dan sertifikasi instruktur, serta mengembangkan komunitas-komunitas Parkour di dunia. Walaupun begitu, Parkour Generations tidak menghilangkan unsur komersil. Dalam situsnya tersaji koreografi film, iklan komersial, maupun performance. Namun Parkour Generations tidak pernah mengadakan kompetisi, yang selain bertentangan dengan ajaran Belle, juga dianggap sebagai satu bentuk komersialisme yang tidak perlu.
Pada tahun 2007, Red Bull Art of Motion diadakan di Vienna dan menjadi kompetisi Parkour dan Freerun dunia pertama. Kompetisi ini menuai pro dan kontra dari praktisi Parkour dan Freerun di seluruh dunia. Para praktisi yang memegang ajaran Belle dan Foucan memprotes keras, sementara banyak praktisi terutama yang baru mengenal Parkour dan Freerun menyambut gembira adanya kompetisi. Setelah itu, muncul berbagai kompetisi Parkour dan Freerun lainnya, seperti Barclay Freerun Championship yang diorganisir oleh Urban Free Flow dan MTV’s Ultimate Parkour Challenge. Perdebatan mengenai kompetisi dan komersialisme dalam Parkour terus berlanjut.
***
Pada pertengahan 2007, muncul satu thread di forum Parkour.net berjudul “Anyone in Indonesia?” Dari obrolan santai 8 orang yang berasal dari Malang, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan Surabaya dalam thread forum itu kemudian lahir situs ParkourIndonesia.web.id beserta forumnya. Peminat Parkour yang tinggal di kota yang sama kemudian saling menemukan dan mulai berlatih bersama.
Dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun, komunitas Parkour Indonesia (PKID) berkembang pesat, walau seleksi alam tak dapat dihindari. “Awalnya gue datang bersepuluh. Sebulan kemudian hanya lima orang yang latihan. Enam bulan kemudian, tinggal gue yang masih aktif,” cerita Daniel Giovanni, yang bergabung dengan Parkour Jakarta pada akhir 2007 dan kini menjabat sebagai Wakil Presiden Parkour Jakarta.
Latihan fisik yang cukup berat salah satu alasannya. Banyak orang menilai Parkour sebagai olahraga ekstrem yang keren, seperti dalam film Yamakasi dan District B13, misalnya. Padahal, “Parkour adalah disiplin jangka panjang,” seperti yang dikatakan David Belle. Dengan berjalannya waktu, Parkour Indonesia mulai terstruktur. Berbekal pengalaman dan pelatihan yang didapat oleh para anggota, baik bersama-sama maupun pribadi, pola latihan terus dibentuk. Contohnya adalah keberhasilan Willy Irawan, seorang praktisi Parkour Bandung, mengundang Stephane Vigroux dan Thomas Couetdic pada Jamming Nasional 2010, yang merupakan salah satu titik penting di mana praktisi dari seluruh Indonesia dapat berguru langsung kepada dua orang yang berpengaruh dalam Parkour Generations dan adalah anak didik langsung David Belle. Willy juga pergi ke London pada pertengahan 2011 dan pulang membawa sertifikat Art du Deplacement & Parkour Teaching, standar kualifikasi instruktur Parkour yang dikeluarkan oleh Parkour Generations, dan terdaftar sebagai satu dari tiga orang Asia yang mengantongi sertifikat ADAPT hingga tahun 2011. Pola latihan di setiap kota kini cukup rapi. Saat ini, hampir di semua kota besar di Indonesia ditemui komunitas Parkour di bawah naungan Parkour Indonesia, yang terus berusaha mempertahankan dan menyebarkan semangat original Parkour.
***
Sabtu malam di pertengahan Januari 2012, sekitar 20 praktisi berkumpul di pintu IV, Gelora Bung Karno, Jakarta. Agenda latihan Jumper Parkour & Freerun terlambat 1,5 jam dari yang dijadwalkan. Mungkin karena hujan.
“Jumper belum setahun berdiri,” kata Mohammad Majid, wakil ketua Jumper. Dulu, Majid adalah pendiri Parkour Depok dan Parkour Lampung di bawah naungan Parkour Indonesia, dan sebelumnya anggota Parkour Jakarta. “Kami berpisah dari Parkour Indonesia karena berbeda pandangan. Kami ingin merangkul semua termasuk Freerun, dan orang-orang dengan tujuan apapun untuk berkembang dalam Parkour dan Freerun.” Menurut Hendry Hilmawan yang akrab dipanggil Inno, ketua Jumper, di balik Parkour Indonesia banyak komunitas Parkour lain bermunculan di Indonesia. Semua ikut menyebarkan Parkour ke berbagai kalangan dengan tujuan dan warna yang berbeda-beda dan salah satu contoh kecilnya Jumper.
Jumper Parkour & Freerun sering perform di berbagai acara besar, diliput oleh media cetak maupun elektronik. Saat ini Jumper membawahi komunitasnya yang tersebar di Jakarta, Rawamangun, Depok, Bekasi, Solo, Semarang, dan Lampung.
Pada Oktober 2011 lalu, Jumper sukses mengadakan Indo Smartfren Freerun Championship yang mengundang empat juri internasional yang merupakan juara-juara Barclay Freerun Championship dan Redbull Art of Motion Event. ISFC diikuti oleh sekitar 50 peserta termasuk dari Malaysia.
“Filosofi Parkour dan Freerun memang menentang kompetisi, tapi kita harus mengikuti perkembangan zaman. Kami ingin Parkour dan Freerun dapat berkembang dan menyebar luas,” jelas Majid. “Bila orang dapat berkembang dengan kompetisi, kenapa tidak? Dengan berkompetisi, orang dapat mengapresiasi dan memotivasi dirinya. Namun bila ada yang tidak setuju dengan kompetisi, kami menghargai.”
“Kami mengkompetisikan Freerun dan bukan Parkour, karena penggunaan nama Parkour akan menuai kontroversi karena filosofinya,” kata Inno. “Bukan popularitas dan uang yang kami kejar di Freerun Champ, tapi kekeluargaan dan kebersamaannya. Dan itu sangat berhasil untuk memanggil massa Parkour dan Freerun ataupun media untuk ajang promosi komunitas.”
***
“Sebenarnya, bukan hanya masalah keamanan dan kemungkinan cedera yang kami khawatirkan dalam kompetisi. Buat saya, kompetisi justru menentang semangat kebebasan dalam Parkour, karena terikat dengan aturan,” tutur Syariif Pontoh yang akrab dipanggil Ais, salah satu founder Parkour Indonesia yang kini menjabat sebagai Presiden Parkour Indonesia. Dalam disertasinya yang berjudul Ciné Parkour, Julie Angel menulis, baik Belle maupun Foucan tidak setuju dengan kompetisi. Parkour maupun Freerun bukanlah soal menjadi yang terbaik, dan bukan semata-mata fisik. Dalam blog-nya, Willy menulis, Parkour bukanlah sekedar loncat-loncat. “Karena itu kami lebih suka disebut praktisi, bukan atlet.”
Berbeda dengan Jumper, ketika perform, praktisi Parkour Indonesia memilih untuk tidak mengusung nama Parkour, kecuali jika diberikan kesempatan untuk menjelaskan apa itu Parkour. “Kami tidak ingin memberikan persepsi yang salah tentang Parkour kepada masyarakat. Parkour bukan hanya untuk dipamerkan bahwa kita dapat melakukan ini dan itu.” Karena itu komunitas Parkour Indonesia di beberapa kota memiliki performance teams, yang diturunkan bila mereka diminta untuk tampil secara komersil. Tanpa nama Parkour maupun Freerun. “Kami tidak tertutup kepada dunia komersil, selama masih dalam norma dan semangat original Parkour. Hanya saja, ada perbedaan dari menjual skill Parkour, dengan menjual Parkour itu sendiri.”
Baik Parkour Indonesia maupun Jumper memiliki kesamaan dalam misi menyebarkan Parkour. Keduanya berharap dapat memiliki wadah legal bagi komunitas masing-masing dan terus menyebarkan Parkour, misalnya dengan menjadi kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah. Seperti Parkour Generations. Sejak tahun 2011, Parkour Indonesia terdaftar sebagai anggota Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Parkour Bandung bekerja sama dengan salah satu perusahaan transportasi shuttle terkemuka dengan program Corporate Social Responsibility (CSR)-nya, untuk mengajarkan Parkour kepada anak-anak dan masyarakat sebagai metode pengembangan diri. Jumper pun sering ikut serta dalam acara-acara kampus bertema lingkungan dan komunitas.
“Sebenarnya kontradiksi dalam Parkour seperti ini sudah sering terjadi di luar negeri. Hanya saja hal yang sudah terjadi beberapa tahun yang lalu dan sudah mereda di luar sana, baru mulai terjadi di Indonesia. Sekarang di sana semua berjalan masing-masing, dengan visi dan misi masing-masing. Tidak ada masalah,” terang Daniel.
Dalam wawancara dengan Jump Magazine, Laurent Piemontesi, salah satu anggota Yamakasi, berkata, “Hanya karena saya tidak sepaham, bukan berarti saya tidak harus menghormati orang lain. Kita semua berbeda. Art du deplacement juga merupakan suatu pesan damai.” Dalam wawancara tersebut, tentang kontroversi Parkour dan Freerun pun dijelaskan Châu Belle, sepupu David Belle yang juga seorang anggota Yamakasi, “Saya rasa itu bukan masalah. Apapun nama yang orang pilih, yang terpenting adalah Anda mengenali diri Anda dalam disiplin ini. Dan bahwa orang mengerti apa yang kita kerjakan ketika berlatih.”
Namun Ais menolak bila perkembangan Parkour di Indonesia dibandingkan dengan yang terjadi pada breakdance. Ketika awal booming, idealisme breakdance sangat kental. Dalam beberapa tahun, breakdance kini dikenal sebagai suatu bentuk performance yang komersil, dengan berbagai kompetisi dan segala medianya. Menurut Ais, lebih seperti yoga. Yoga adalah suatu disiplin pengembangan diri yang tidak dapat dikompetisikan. Kalaupun ada kompetisi, hanya untuk menarik sponsor. Bagi Ais, banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk ajang kekeluargaan para praktisi.
***
Bagi para praktisinya, Parkour memberikan banyak hal yang membuat mereka bertahan mengembangkan diri dalam Parkour maupun komunitasnya. Perbedaan motivasi, latar belakang fisik maupun mental memberikan hasil yang berbeda-beda bagi setiap orang.
Jumper Parkour & Freerun memiliki Noe. Ia sangat berbakat. Berusia di awal 20-an, ia mendedikasikan waktunya secara penuh untuk Parkour dan Freerun. Entah kenapa, ia tidak kuliah ataupun bekerja. Ia sudah sering muncul dalam berbagai iklan komersial, stunting, maupun perform. Namun menurut Majid, ia agak sulit diwawancarai. Ia memiliki masalah dalam merespon pertanyaan yang cukup panjang. Tapi bila bergerak, ia sangat bebas dan natural. Mata saya menangkap sesuatu. Sepertinya ia agak kesulitan dalam memperhatikan dan tampak hiperaktif. Dengan keterbatasannya, ia akan sulit menyerap filosofi. Jumper membantunya dengan kebebasan berekspresi.
Aldika, salah satu praktisi Parkour Indonesia di Jakarta, dulu, mempunyai kesulitan dalam mengatakan pesan yang hendak disampaikan karena kurangnya kepercayaan diri. Disiplin Parkour dengan segala filosofinya membantunya hingga ia kini dapat berkomunikasi lancar bahkan dalam public speaking. Ia tetap bekerja seperti kebanyakan praktisi Parkour lainnya, dan mendedikasikan waktu di luar pekerjaannya untuk berlatih Parkour, baik sendiri maupun sebagai instruktur, dan untuk semangat original Parkour itu sendiri.

0 comments:

Post a Comment

Koment seperlu nya

Popular Posts